"San, tungguin dong...!" teriakku sampai terengah-engah mengejar Sandy. "Duuh lelet banget sih. Ayo cepat..," ucapnya kesal. Sudah dua tahun ini aku mengenalnya, sosok cowok yang misterius bertubuh cungkring. Gayanya sok cuek, gak peduli orang lain. Cowok yang mencintaiku, tapi hanya kuanggap sebagai seorang sahabat.
Meski dua tahun bersahabat sama dia, aku merasa belum mengerti dia, lebih-?lebih setahun terakhir ini. Ada sesuatu yang disembunyikan dari aku. Dia lebih tertutup kepadaku. Padahal, dulu dia sering curhat tentang apa saja kepadaku. "San, kamu lagi menyembunyikan sesuatu dari aku ya...? Kok kamu beda. Nggak seperti dulu lagi. Ada apa sih San?" tanyaku menyelidik. "Ah kamu nih Lin, ada-ada aja. Memang apa yang harus disembunyikan. Gak ada kok, paling-paling yang beda aku jadi lebih cakep he..he..he..," guraunya sekenanya.
Jujur, aku nggak puas dengan jawaban Sandy. Ingin kukorek jawaban lainnya, tapi kuurungkan setelah kulihat wajahnya yang lesu dan terlihat nggak semangat hari ini. Aku tidak ingin membuatnya tambah bete.
Suatu malam di jalan, sepulang dari toko buku, tiba-tiba mataku tertuju pada sosok cowok berkaus merah. Badannya kurus. Penampilannya acak-acakan. Dia tak lain adalah Sandy. Aneh, tadi kuajak beli buku katanya sakit eh kok malah nongkrong sama anak-anak jalanan. Belum juga aku memanggilnya, dia beranjak dari tempatnya.
"Ayo... mana bagianku..," sayup-sayup kudengar suaranya. Kudekati dia dan astaghfirullah. Apa yang kulihat sungguh di luar dugaanku.
"San, apa-apaan ini?" teriakku sambil terisak.
"Kenapa San, kenapa? Kenapa?" berulang-ulang aku membentaknya.
"Sudahlah Lin, sudah... nggak perlu kamu sok ngurusi aku, sok peduliin aku. Aku tidak perlu perhatianmu, pulang sana."
Badanku terasa hangat oleh sinar mentari yang menerobos masuk kamar kosku. Aku terbangun, termenung memikirkan kejadian semalam. Aku tidak habis pikir, kejadian semalam bukanlah mimpi, tapi kenyataan, kenyataan yang pahit.
"Assalamualaikum...," suara salam dari balik pintu membuyarkan pikiranku.
"Waalaikumsalam. Kamu San, masuk," kataku sambil menyodorkan kursi untuknya.
"Lin, maafin aku ya Lin, selama ini aku bohong sama kamu. Aku pemakai Lin. Apa yang kamu lihat kemarin memang nyata. Aku tahu kamu kecewa, kamu benci sama aku," katanya lirih.
"Iya... tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan San? Kamu harus akhiri ini semua," ucapku sambil terisak.
"Maaf Lin, aku sudah lama make Lin, jauh sebelum aku mengenalmu. Aku salah bergaul, tapi beberapa bulan terakhir ini aku sudah mulai berhenti. Aku sudah menguranginya Lin. Maafkan aku Lin, aku janji demi kamu aku akan berhenti. Hari ini, aku juga ingin pamit sama kamu. Aku akan pergi beberapa minggu ke luar kota ada urusan pekerjaan," pamitnya kepadaku.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa dua bulan berlalu, tiada kabar dari Sandy. Tiba-tiba telepon berdering.
"Assalamualaikum. Lin, aku akan pulang hari ini. Datang ke rumah sore ini ya, akan ada kejutan untukmu," suara Sandy dari seberang sana. Hatiku serasa diguyur air segar di tengah padang pasir, senang sekali menerima telepon darinya.
Aku berdandan secantik-cantiknya sore ini, lalu segera berangkat ke rumah Sandy. Aku nggak mau telat. Aku ingin saat dia pulang aku sudah ada di rumahnya. Aku juga akan memberinya kejutan bahwa aku sangat mencintainya lebih dari seorang sahabat, bahwa kini aku menerima cintanya.
Sore yang kunanti telah tiba, baru beberapa langkah aku menuju halaman rumahnya. Tiba-tiba langkahku terhenti ... kenapa banyak kursi berjejer di depan rumah Sandy, ada bendera kuning terpasang didepan rumah. Bergegas aku masuk rumah.
"Dia telah pergi Nak Lina. Saat perjalanan ke rumah, taksi yang dia tumpangi tertabrak kereta," ucap tante Ayu terisak sambil memelukku.
Aku lemas tak bisa berkata apa-apa, lalu semua gelap. Inikah kejutan darimu San? Kejutan yang benar-benar menyakitkan. (*)
*) Penulis adalah pelajar Universitas Bhayangkara
Oleh: Desy Salfana
Posting Komentar